Penyimpangan HUKUM INDONESIA

Hukum sebenarnya dibuat dan di berlakukan bagi masyarakat dari semua kalangan dalam suatu negara ataupun daerah.Hukum juga seharusnya dibuat untuk menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat baik yang kaya maupun yang miskin,baik pejabat maupun masyarakat awam Namun ada penyimpangan yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia, Hukum sepertinya hanya berlaku bagi kaum yang kuat atau yang lebih jelas lagi masyarakat yang kaya.

Hukum sama seperti barang yang bisa dibeli jika memiliki uang yang banyak. Dan dengan uang yang banyak seseorang yang tidak mampu membayar akan dikenai hukuman walaupun tidak bersalah. Hal ini sangatlah memprihatinkan karena kaum yang tertindas akan semakin tertindas dan kaum yang kuat dan kaya akan semakin kuat dan kaya. Seringkali kita temukan ada oknum yang menyebut dirinya pejabat ataupun orang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan melakukan penyimpangan hukum hanya karna posisi atau kedudukannya, bahkan tanpa malu orang yang berwewenang atau yang disebut Jaksa,Hakim,Pengacara dan masih banyak lagi badan yang berhubungan dengan hukum memasang tarif yang sangat mahal untuk membela yang bersalah dan menghukum yang tidak bersalah. Hal yang sangat menyimpang baik dari sisi Agama maupun dari sisi moralpun mereka lakukan hanya untuk membela ketidakadilan. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat dari golongan yang lemah sudah tidak lagi mempercayai hukum karna ketidakmampuannya dalam membayar sehingga tak jarang kita temukan masyarakat yang lemah lebih memilih mencari keadilan sendiri seperti pengeroyokan atau main hakim sendiri. Mereka merasa percuma melapor karna toh merekapun tidak akan dibela. Hal ini sudah menjadi hal yang biasa dan yang lebih memprihatinkan pemerintah seolah menutup mata dengan semua yang terjadi. Padahal yang terjadi bukan lagi rahasia bahwa pihak yang berwajib seolah memperdagangkan hukum hanya untuk kepentingan pribadi.Seharusnya pemerintah memperhatikan hal ini dan lebih bijaksana dalam menyikapi masalah ini agar masyarakat bisa kembali mempercayai hukum. Perlu kita sadari bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang seharusnya mengutamakan keadilan bagi seluruh masyarakat dalam segala aspek kehidupan.bukan malah mementingkan uang dan kedudukan. Ada satu hal lagi yang diabaikan oleh pemerintah bahwa terjadinya KKN karna hukum kita yang masih lemah sehingga negara kita sangat sulit untuk berkembang.

Read more...

KRISIS PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan pada faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum walaupun tidak itu saja. Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat. Pengadilan sebagai institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyaralat bawah. Buktinya para koruptor milyaran bahkan triliunan rupiah masih berkeliaran dialam bebas, bolak-balik keluar negeri, hiburan kemana saja bisa dilakukan. Padahal mereka jelas-jelas korup uang negara. Bahkan ada yang sudah di putus dengan hukuman penjara pun masih bisa melakukan aktivitas sehari-harinya. Sedangkan kalau kita lihat ke bawah pencuri, jambret, perampok kecil-kecilan yang terpaksa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidupnya harus dihajar dan dianiaya dalam proses penyidikan dikepolisian. Dan memang ini adalah merupakan kejahatan dan melanggar hukum, tetapi kalau dibandingkan dengan para koruptor (penjahat kera putih) yang hanya dapat dilakukan orang diatas dapat begitu saja lepas dari jeratan hukum. Dan ini adalah faktor aparat penegak hukumnya yang belum mampu menegakan supremasi hukum. Kepolisian sebagai aparat yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas sebagai pelindung dan pengayom, menjadi tugas yang disampingkannya. Polisi ditingkat sektor terutama, dengan uang tebusan dari keluarga seorang penjahat atau yang sudah mempunyai status tersangka bisa keluar dan tidak diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, padahal sebenarnya sudah sangat jalas didalam KUHAP, yang nota bene hukum produk manusia ini menekankan bahwa perkara pidana adalah perkara yang tidak mengenal Winwin solution , seperti dalam perkara perdata. Dalam contoh di atas membuktikan ketidak profesional atau polisi yang hanya mencari duit lewat pemerasan saja. Bukti tersebut banyak sekali penulis dapat memberikan fakta. Kasus serupa tidak hanya dilakukan oleh pihak kepolisian saja tetapi di tingkat pengadilan pun ada, seperti dalam kasus asuransi jiwa manulaif, ketidak profesionalan polisi dan hakim ini disebabkan karena moral dan pendidikannya yang tidak baik. Kesalahan moral tidak seperti kesalahan seperti salah tendang dalam permainan sepak bola atau salah tamplek dalam bulu tangkis tetapi kesalahan moral adalah kesalahan dari hati yang paling dalam/luhur dan di pertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memanglah sulit untuk mencari orang yang mempunyai moral yang baik sekarang ini, mungkin disebabkan kerena keadaan ekonominya. tetapi penulis mempunyai gagasan bahwa moral akan terbentuk dengan berdasarkan Agama sebagi keyakinan bukan Ilmu, jadi berprilaku secara agama dan berfikir secara ilmu, dari segi pendidikan para aparat penegak hukum sekarang ini juga belum menunjukkan kepintarannya, penulis mempunyai gagasan bahwa untuk memperbaiki aparat penegak hukum di Indonesia khususnya hakin dan jaksa, perlulah bangsa ini mempunyai lembaga/ konstitusi yang jelas berdasarkan aturan yang jelas pula. Kekecewaan atau ketidak puasan pencari keadilan dapat kita lihat dalam setiap kasus yang masuk dan diproses didalam pengadilan (kasus Perdata) atau banyaknya para pihak yang berperkara di pengadilan yang setelah diputus oleh hakim pengadilan tingkat pertama, melakukan upaya hukum, (banding, kasasi, peninjauan kembali) ini membuktikan bahwa setiap keputusan di pengadilan belum dapat memberikan rasa adil dan puas. Dan walaupun memang setiap orang berhak untuk melakukan upaya hukum sesuai peraturan yang berlaku.

Read more...

AMBALAT BUKAN WILAYAH MALAYSIA

Sebagai Negara kepulauan (archipelegoes state), Indonesia tidak pernah akan terbebas dari konflik perbatasan. Tentu saja, penanganan terhadap persoalan luasnya wilayah daratan dan lautan bukan merupakan masalah yang mudah dilakukan.

Di satu pihak, Indonesia akan selalu bersinggungan dengan wilayah perbatasan darat dan laut. Seperti dijumpai dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Dan di pihak lain, Indonesia berbatasan dengan wilayah laut seperti Singapura, Pillipina, Thailand, Vietnam dan Australia. Hal ini membuat pemerintah Indonesia untuk berupaya mencari solusi damai. Agar penggunaan kekerasan akibat konflik perbatasan wilayah dapat dicegah.

Dalam kurun waktu dekat, upaya diplomasi perbatasan atau diplomacy border yang paling urgen adalah perbatasan darat dan laut Malaysia dengan Indonesia. Tingkat sensitifitasya cukup tinggi dan selalu mengancam secara laten timbulnya ketegangan dan permusuhan hubungan kedua negara wilayah perbatasan umumnya sangat rentan karena mengandung persoalan keamanan, pertahanan, kejahatan lintas Negara. Termasuk kepentingan kedaulatan dalam arti ekonomi dan politik kedua negara, merupakan sumber potensiel pemicu konfrontasi fisik yang sangat berbahaya.

Misalnya, dalam sepekan ini, kegerahan ancaman militer antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia telah menyeruak dan menjadi pemberitaan aktual media masa. Terutama karena kapal Malaysia telah berulang kali melakukan pelanggaran teritorial di blok Ambalat. Sesunguhnya keadaan memanas seperti itu bukan peristiwa kali pertama terjadi. Pada tahun 2007, keadaan genting ancaman perang timbul antara pemerintahan Indonesia dengan Malaysia. Ketika itu, pemicu ketegangan adalah disebabkan oleh sikap Tentara Laut Malaysia yang menghardik kapal-kapal nelayan Indonesia di sekitar blok Ambalat.

Gelar kekuatan militer, khususnya angkatan laut dan udara kedua Negara itupun tidak dapat disembunyikan. Saat ini KRI Kapal Malaysia nyaris bentrok dengan angkatan laut RI di Ambalat. Karena pihak Kapal Perang Tentara Lauat Diraja Malaysia, Fast Attak Craft KD Baung- 3509, terang-terang melakukan provokasi. Mereka juga dipandang melanggar peraturan kode etik diplomasi. Ketika Angatan Laut RI memberikan peringatan melalui radiogram pada angkatan laut Malaysia malah mereka menutup komunikasi dialogis. Suatu sikap pelecehan terhadap rasa kurang memperlihatkan I’tikad baik sesama Negara bertetangga.

Keberanian Tentara Laut Malaysia untuk melakukan sikap demikian ini tampaknya berkesesuaian dengan fakta Negara-negara digdaya. Menurut William, E. Scheurman, dalam bukunya Carl Schmit and Hans Morgenthau (2007:72) bahwa praktek non-intervensi terhadap kesepakatan internasional sangat penting untuk memperlihatkan hegemony politik suatu kekuasaan Negara. Dan kekuatan tersebut dalam faktanya memperlihatkan peran Amerika Serikat dalam kekuatan daya militernya yang dijadikan landasan kebijakan dalam dan luar negerinya.

Seberapa jauh, kerangka kebijakan AS juga dipergunakan oleh negerijiran Malaysia. Jika disadari secara langsung atau tidak, rendahnya anggaran biaya alokasi pertahanan dan keamanan nasional, termasuk daya beli pemerintah Indonesia terhadap alat-alat persenjataan memang diakui jauh kalah dibandingkan dengan Malaysia.

Sehingga tidak mengherankan jika Tentara Laut Direja Kerajaan Malaysia memiliki nyali keberanian mengingat peralatan tempur mereka jauh lebih moderen. Sikap mereka meremehkan tersebut boleh jadi berkaitan dengan absen kekuatan peralatan militer dan fasilitas tempur Indonesia sebagai penyebab deligitimaasi kekuatan.

Karena itu, mengapa pemerintah Indonesia perlu mengeluarkan sikap tegas atas posisi blok Ambalat dan harus berani mengusir dan memaksana kapal Diraja Malaysia keluar dari wilayah Indonesia merupakan tindakan kedaulatan yang syah.

Pertama, blok Ambalat bukan wilayah laut Malaysia didasarkan kepada fakta sejarah penguasaan wilayah oleh pemerintahan kolonial Belanda. Penentuan batas wilayah, baik di darat maupun laut harus didasarkan pada parameter adanya prinsip uti posidetis. Suatu prinsip dalam hukum internasional, yang menegaskan wilayah Indonesia sejak pasaka kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 adalah mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Belanda. Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Meauke, dan dari pulau Miangas di ujung Sulawesi Utara sampai Pulau Dana di bagian Selatan Rote NTT.

Sebagai Negara induk, pemerintahan Belanda, telah meninggalkan seluruh wilayah Indonesia, dimana seluruh wilayah jajahannya, termasuk blok Ambalat, yang posisinya persis beberapa mill di depan Kalimantan Timur.

Fakta sejarah menujukan bahwa sebagian Barat dari pula Kalimantan dulu merupakan jajahan pemerintahan kolonial Inggris sebagai bukti petunjuk teritorial wilayah Malaysia. Namun, persoalan dapat timbul ketika penentuan tapal batas (delimitation) dan pemisahan (demarcation) secara lebih tegas dan rinci. Sepertinya blok Ambalat berada dalam posisi persoalan yang memerlukan metode diplomasi dan perundingan perbatasan. Mustahil upaya tersebut dilakukan secara sepihak.

Kedua, klaim pemerintah Malaysia atas blok Ambalat secara unilateral, didasarkan kepada UU yang dikeluarkan sejak tahun 1979. Suatu klaim penetapan batas unilateral oleh pemerintah Malaysia atas blok Ambalat tidak memiliki argumen hukum kuat. Sekiranya argumentasi pemerintah Malaysia timbul atas hak Ambalat datangnya kemudian, yaitu setelah Mahkamah Internasional pada tahun 2002, memenangkan Malaysia atas kasus pulau Sipadan dan Ligitan. Maka, putusan Mahkamah Internasional tersebut tidak dapat serta merta dapat dipergunakan sebagai argumentasi hukum.

Pengaturan tentang penentuan suatu wilayah berbatasan, baik di laut dan darat mewajibkan adanya suatu kesepakatan Negara-negara tetangga. Penentuan batas termasuk blok Ambalat di wilayah perairan Kalimantan Timur oleh Malaysia jelas tidak mendapakan pembenaran hukum. Sebaliknya cara unilateral tersebut bertentangan dengan prinsip hubungan internasional, khususnya melanggar prinsip tidak saling menghormati kedaualatn ekseklusif suatu Negara.

Dalam United Convention on the Law of the Sea, UNCLOS 1982, ditegaskan “penentuan batas wlayah laut suatu Negara harus dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral yaitu dengan melibatkan Negara Negara tetangga (neighboring countries). Selama ini, penyelesaian sengketa laut yang telah dilakukan oleh pengadilan nasioal dan pengadilan internasional (International Court of Justice) telah begitu banyak jumlahnya.

Dalam Malcolm N. Shaw, International Law, 2004, menyebutkan berbagai kasus yang diselesaikan secara internasional antara lain, kasus Fisheries Jurisdiction, 1973, suatu sengketa melibatkan Norwegia melawan Inggris. Kasus Maritime delimitation in the Area between Greendland and Jan Mayen (1992), kasus penentuan batas laut kontinental Continental Shelf 1985 melibatkan Libia dengan Malta. Atas sengketa batas laut internasional tersebut, pada akhirnya Negara-negara mematuhi putusan-putusan, baik yang dibuat oleh Mahkamah Internasional di Den Haag, maupun putusan arbitrase internasional.

Ketiga, sekiranya memang diakui sejak tahun 1970-an, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah terikat kontrak-kontrak eksplorasi dan eksploitasi, minyak dan sumber daya alam lainnya, dengan pihak asing, seperti dengan perusahaan Total, Unilocal, atau Petronas, dengan pihak investor asing Inggris atau Perancis, seharusnya kedua Negara dapat menyelesaikannya secara damai, gentlement agreement. Hubungan kedua Negara untuk memperoleh keuntungan bersama secara ekonomi mengisyaratkan adanya perudingan.

Bukan hal mustahil klaim wilayah lautan yang begitu luas dapat terjadi tumpang tindih. Logis saja jika batas wilayah teritorial, 12 mill sebagai batas kedaulatan Negara Indonesia-Malaysia, ditambah dengan hak berdaulat landasan kontinen merupakan merupakan faktor penyebabnya. Apa lagi, kedudukan Indonesia sebagai Negara kepulauan, tidaklah terlalu sulit untuk terjadi tumpang tindih klaim atas suatu wilayah. Mengingat semua Negara diwajibkan untuk menyediakan dan membantu terselenggaranya lalu lintas transportasi laut, sebagamana juga negera-negara kepualauan lainnya.

Akhirnya, bagi pemerintah Indonesia, sikap pro-aktif untuk memberdayakan Tim Kerjasama perundingan lintas perbatasan (transbaundary cooperation) yang dipelopori oleh Departemen Luar Negeri perlu untuk menjadi langkah strategis. Kerjasama kultural menggunakan konsep perdamaian demokratis (democratic peace), yaitu mengusulkan agar kedua Negara berupaya mencegah segala bentuk konfrontasi fisik dan mengutamakan dialog terbuka. Namun, upaya pemerintah Indonesia dalam diplomasi secara bilateral akan mudah dilecehkan Malaysia jika tidak dilakukan perubahan meningkatkan pemberdayaan alat-alat tempur dan menujukan kemampuan militer Indonesia dalam sistem pertahanan dan keamanan untuk membela kedaulatan Negara, termasuk blok Ambalat bukan wilayah Malaysia.

Read more...

perebutan Ambalat dan Urgensi Pengelolaan Pulau

wilayah perairan di Kalimantan Timur (Blok Ambalat) menjadi perdebatan kita dengan Malaysia. Kedua negara yakin, wilayah itu masuk wilayah yurisdiksi masing-masing negara.

Klaim ini terjadi karena kedua pihak belum duduk bersama untuk menyelesaikan aneka perbedaan di antara mereka. Yang menarik, wilayah ini berdekatan dengan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002.

Pasca-Sipadan dan Ligitan, paling tidak ada beberapa kasus perbatasan lain sebelum Ambalat yang mencuat di media, seperti Pulau Batek di depan Oekusi (Timor Leste) yang dicuatkan Timor Leste seakan-akan itu milik mereka saat TNI AL melakukan latihan di pulau itu.

Berikutnya masalah aksesibilitas nelayan Rote dan nelayan Indonesia lainnya di wilayah MOU Box yang telah menjadi milik Australia, tetapi diprotes masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) karena mereka merasa telah berabad-abad mengeksploitasi sumber daya perikanan di kawasan itu. Pulau Miangas di Sulawesi Utara, yang juga telah diyakini milik Indonesia, mencuat di media massa karena "bersengketa" dengan Filipina.

Kita juga mengkhawatirkan reklamasi daratan Singapura yang luas alaminya 580 kilometer (km) persegi ingin diproyeksikan menjadi 770 km persegi. Reklamasi sendiri menggunakan pasir laut yang diambil dari kawasan Kepulauan Riau. Hal ini bila tidak disikapi secara kritis bisa menimbulkan masalah. Ditambah lagi isu illegal fishing, illegal logging, penyelundupan, serta illegal immigrant yang semuanya tumbuh subur di perbatasan karena sifat keterisolasian kawasan ini.

Dari kasus-kasus itu, ada dua hal yang yang harus dituntaskan oleh Indonesia. Pertama, pengembangan wilayah perbatasan berbasis pulau kecil. Pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan, yang dihuni penduduk kita, harus diperhatikan kesejahteraannya, teristimewa pulau-pulau terluar. Sebagai contoh Pulau Wetar di Maluku Tenggara Barat di mana saat Timor Leste masih menyatu dengan Indonesia pasokan kayu untuk pembangunan di sana berasal dari pulau ini, tetapi masyarakatnya amat miskin. Bahkan, sejak merdeka baru ada satu kali kunjungan muspida Provinsi Maluku ke pulau ini pada bulan lalu. Contoh lain, Pulau Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, seluas 3,15 kilometer persegi dan dihuni sekitar 600 jiwa dan berprofesi nelayan dan petani kelapa. Pemasaran komoditas di sana bukannya ke Sulawesi Utara, tetapi ke Davao (Filipina).

Kedua, masalah kepastian garis batas (delimitasi dan demarkasi). Masalah ini membutuhkan dukungan, seperti survei dan pemetaan wilayah perbatasan, penamaan (toponim) pulau yang pada akhirnya membantu Departemen Luar Negeri (Deplu) melakukan tugasnya dalam kaitan dengan border diplomacy sampai upaya pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap apa yang sudah disetujui Indonesia dengan negara- negara tetangga.

BELAJAR dari kasus-kasus perbatasan ini, sebetulnya akar permasalahannya adalah kepentingan terhadap sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, yang terbentang di wilayah itu. Karena di laut, penanganannya pun menjadi lebih sulit dan mahal ketimbang di darat. Di darat kita hanya berhubungan dengan tiga negara, yaitu Papua Niugini (PNG), Malaysia, dan Timor Leste. Sementara di laut, kita "bersentuhan" dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, PNG, dan Thailand.

Untuk menangani batas laut, upaya harus diarahkan pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar (sebelumnya Sipadan dan Ligitan termasuk). Mengapa? Pada ke-92 pulau ini, negara meletakkan titik dasar (TD) yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia (PP ini harus diubah karena masih ada Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau itu bukan lagi milik kita).

Hal ini berarti, pulau-pulau tersebut menjadi penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut); batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut); dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan). Jika salah satu dari pulau itu mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan, otomatis kita akan kehilangan sebagian dari wilayah kita meski kecil dibanding total luas wilayah. Pulau-pulau ini amat strategis bagi bangsa dan rawan konflik karena mereka sebagai penentu volume wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta wilayah yang potensial diduduki (dispute) karena bersinggungan dengan wilayah internasional.

Pulau-pulau ini tersebar di 18 provinsi dan 34 kabupaten, meliputi Kepulauan Riau (20 pulau), Maluku (18 pulau), Sulawesi Utara (11 pulau), Papua (9 pulau), Nanggroe Aceh Darussalam (6 pulau), NTT (5 pulau), Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (4 pulau), Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur (3 pulau), Bengkulu dan Sumatera Barat (2 pulau), Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Lampung (masing-masing satu pulau). Luas pulau-pulau ini berkisar 0,02-200 kilometer bujur sangkar dan hanya 50 persennya yang dihuni.

Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk menangani isu-isu perbatasan di laut ini dengan mengusulkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengelolaan ke-92 pulau kecil terluar itu. Rancangan Keppres ini diinisiasi Departemen Kelautan dan Perikanan sejak Pemerintahan Megawati, saat kasus Sipadan dan Ligitan menghangat, tetapi sampai pemerintahan sekarang pun belum diterbitkan. Keppres ini merupakan landasan sekaligus aksi nasional pengembangan pulau kecil terluar.

PEMERINTAH pusat seharusnya memiliki tanggung jawab dan inisiatif lebih tinggi terhadap penanganan isu perbatasan internasional ini ketimbang daerah. Daerah tidak melihat isu ini sebagai prioritas mereka. Dana APBD cenderung difokuskan pada sektor-sektor vital dan amat dibutuhkan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, sebab perhatian dan orientasi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan cenderung menekankan aspek ekonomis dibanding politis, terutama politik luar negeri.

Harus disadari, masalah pulau kecil terluar memiliki spektrum luas. Ia tak sebatas aspek ekonomis, tetapi terpenting aspek politis yang terkait batas wilayah dan keutuhan NKRI. Artinya, penanganannya harus lintas departemen. Hal inilah yang menjadi urgensi perlunya kehadiran keppres itu. Tujuannya untuk mengikat komitmen pemerintah dalam membangun kawasan melalui perencanaan, pengendalian, dan pemanfaatan secara terpadu. Keppres belum diterbitkan sementara kasus Ambalat sudah muncul. Rasanya kelemahan kita diketahui lawan sehingga upaya coba-coba dari tetangga terus dilakukan. Marilah melakukan gerakan nasional untuk menghentikan kecenderungan ini.

Read more...

Perjanjian Perbatasan Negara

Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangi perjanjian perbatasan laut kedua negara di segmen barat. Acara penandatanganan itu dilakukan oleh Menlu RI Hassan Wirajuda dan Menlu Singapura George Yeo di Gedung Pancasila, Departemen Luar Negeri, Jakarta, Selasa.

"Perjanjian (yang ditandatangani) ini adalah perjanjian batas laut bagian barat di dekat Tuas-Pulau Nipa," kata Hassan.

Hassan menjelaskan bahwa perjanjian itu adalah perjanjian perbatasan laut kedua yang disepakati oleh kedua negara. "Perjanjian sebelumnya ditandatangani pada 25 Mei 1973," katanya.

Menurut Hassan, penandatangan perjanjian itu merupakan cermin dari komitmen kedua negara untuk mematuhi Hukum Laut Internasional.

Penandatangan perjanjian batas laut tersebut, kata dia, juga akan mendorong peningkatan kerjasama dwipihak.

Mengingat Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara di kawasan maka diplomasi perbatasan merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan hubungan bertetangga yang baik.

Pada kesempatan itu Menlu juga mengatakan bahwa keberhasilan perundingan perjanjian batas laut segmen barat itu memberikan optimisme penyelesaian perundingan perjanjian batas laut segmen timur sekali pun tidak memberikan tenggat untuk perundingan segmen timur tersebut.

Sementara itu Menlu Singapura mengatakan bahwa seusai proses ratifikasi perjanjian batas laut segmen barat itu maka perundingan batas laut segmen timur akan segera dilakukan.

Dengan selesainya batas laut wilayah pada segmen barat itu maka masih terdapat segmen timur 1 dan timur 2 yang perlu dirundingkan.

Segmen timur 1 adalah di wilayah Batam-Changi dan segmen timur 2 adalah wilayah sekitar Bintan-South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca yang masih menunggu hasil negosiasi lebih lanjut Singapura-Malaysia pasca keputusan ICJ.

Kesepakatan perjanjian batas laut segmen barat itu adalah hasil dari delapan putaran perundingan yang telah dilakukan oleh kedua negara sejak 2005.

Penentuan garis batas laut wilayah Indonesia dan Singapura ditetapkan berdasarkan hukum internasional yang mengatur tata cara penetapan batas maritim yakni Konvensi Hukum Laut (Konvensi Hukla) 1982, di mana kedua negara adalah pihak pada konvensi.

Dalam menentukan garis batas laut wilayah itu, Indonesia menggunakan referensi titik dasar (basepoint) Indonesia di Pulau Nipa serta garis pangkal kepulauan Indonesia (archipelagic baseline) yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Besar.

Garis pangkal itu adalah garis negara pangkal kepulauan yang dicantumkan dalam UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dan diperbarui dengan PP No.38/2002 dan PP No.37/2008.

Penetapan garis batas laut wilayah di segmen barat itu akan mempermudah aparat keamanan dan pelaksanaan keselamatan pelayaran dalam bertugas di Selat Singapura karena terdapat kepastian hukum tentang batas-batas kedaulatan kedua negara.


No Subjek/Judul Perjanjian Negara Pihak Tempat/tanggal penandatangan Status Pemberlakuan/ Ratifikasi
1. Persetujuan. Garis Batas

Landas Kontinen

Malaysia Kuala Lumpur,

27-10-1969

Keppres No. 89 Tahun 1969

(05-11-1969).

2. Perjanjian. Garis Batas Laut Wilayah. Malaysia Kuala Lumpur

17-03-1970

UU No. 2 Tahun 1971.

(10-03-1971)

3. Persetujuan. Garis Batas Dasar Laut Tertentu (LK) Australia Canberra

18-05-1971

Keppres No: 42 Tahun 1971

(01-07-1971)

4. Persetujuan. Batas Landas Kontinen Thailand Bangkok

17-12-1971

Keppres No: 21 Tahun 1972

(11-03-1972)

5. Persetujuan. Batas Landas Kontinen Trilateral

Malaysia dan Thailand

Kuala Lumpur

21-12-1971

Keppres No: 20 Tahun 1972

(11-03-1972)

6. Persetujuan. Batas-Batas Laut Tertentu (LK) Tambahan Persetujuan 1971 Australia Jakarta

9-10-1972

Keppres No. 66 Tahun 1972

(04-12-1972)

7. Perjanjian. Garis Batas Laut Wilayah. Singapura Jakarta

25-05-1973

UU No. 7 Tahun 1973

(08-12-1973)

8. Perjanjian. Garis Batas Dasar Laut Tertentu

(versi Inggris)

Australia

(protektor PNG)

Jakarta

12-02-1973

UU No: 6 Tahun 1973.

(08-12-1973)

9. Persetujuan. Garis Batas Landas Kontinen India Jakarta

08-08-1974

Keppres No: 51 Tahun 1974

(25-09-1974)

10. Persetujuan. Garis Batas Dasar Laut. Thailand Jakarta

11-12-1975

Keppres No. 1 Tahun 1977

(31-01-1977)

11. Persetujuan. Perpanjangan Batas Landas Kontinen 1974 India New Delhi

14-01-1977

Keppres No. 26 Tahun 1977

(04-04-1977)

12. Persetujuan. Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas & Penetapan Garis Batas Landas Kontinen (Trilateral)

Thailand dan India

New Delhi

22-06-1978

Keppres No. 24 Tahun 1978

(16-08-1978)

13. Persetujuan. Batas-batas maritim dan kerjasama bidang terkait. PNG Jakarta

13-12-1980

Keppres No. 21/1982
14. Nota Kesepahaman. Garis Sementara Penginderaan Perikanan, Penegakan Hukum Australia Jakarta,

April 1981

Tidak memerlukan ratifikasi.
15. Persetujuan. Garis Batas ZEE dan Dasar Laut Tertentu Australia Canberra

16-03-1997

Belum berlaku karena masih belum diratifikasi.
16. Persetujuan. Garis Batas Landas Kontinen Vietnam Hanoi

26-06-2003

Belum berlaku karena masih belum diratifikasi.


Read more...

persoalan perbatasan negara

Persoalan perbatasan wilayah Indonesia dengan negara tetangga tak kunjung tuntas. Tiga negara seperti Malaysia, Papua Nugini dan Timur Leste masih mempersoalkan.

Tiga negara tersebut memiliki perbatasan wilayah daratan. Sementara untuk wilayah perbatasan laut, ada 10 negara yang belum diselesaikan dengan baik secara keseluruhan seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Palau, India, Thailand, Singapura, PNG, Timor Leste dan Australia.

Berdasarkan informasi Ditjen Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan,
penetapan/penegasan batas antar negara, perlu dilakukan melalui proses perundingan yang didalamnya harus didukung oleh bargaining position yang kuat yaitu pertahanan artinya pertahanan sebagai alat diplomasi.

Disamping itu, Kementerian Pertahanan dalam menangani masalah perbatasan tidak bisa berdiri sendiri perlu amunisi dari Kemlu, Kemdagri, Kem PU, Kem PDT, dan stake holder terkait lainnya (pertahanan nir militer).

Tidak tuntasnya permasalahan perbatasan bisa jadi disebabkan lemahnya bargaining position akibat tidak kuatnya pertahanan. Dengan demikian perlu pertahanan yang efektif, yang tidak hanya dimaknai hanya sebagai tujuan perang tetapi juga sebagai sarana perdamaian, sehingga dapat dijaminnya keberlangsungan pembangunan demi kesejahteraan.

Negara perlu pertahanan yang kuat, sehingga perlu adanya dukungan anggaran yang memadai. Saat ini posisi negara belum mampu memberikan dukungan anggaran yang mencukupi, sehingga dalam pembangunan pertahanan negara, perlu disiasati dengan rancang bangun MEF.

Read more...

Pemberantasan Mafia Hukum


Presiden telah menyerukan kepada rakyat Indonesia yang menjadi korban mafia hukum untuk melaporkan diri melalui PO BOX 9949 Jakarta 1000. Seruan Presiden ini merupakan bagian dari kebijakan yang paling diprioritaskan oleh Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dalam masa 100 Hari, yakni pemberantasan mafia hukum. Ada 45 Program dalam Program 100 Hari KIB 2, dan pemberantasan mafia hukum berada di posisi pertama untuk dilaksanakan.
Untuk mengawal pemberantasan mafia hukum, Presiden telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. Satgas akan melakukan koordinasi, evaluasi, pemantauan, pengawasan dan koreksi dalam pemberantasan mafia hukum. Dengan terbentuknya Satgas ini diharapkan mampu membuka jalan dan berperan dalam pemberantasan mafia hukum

Read more...

Mafia Hukum Indonesia


Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.

Read more...

  © Blogger template Blue Surfing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP