Ketahanan Nasional Indonesia

eostrategi dari Globalisasi     Daoed Joesoef   stilah "strategi" ditempa
dari kata-kata Yunani, yaitu stratêgos dan stratos (tentara) serta agein
(menjalankan). Walaupun strategi lahir di kancah peperangan, ia kini tidak bisa
direduksi menjadi sekadar kiat berperang. Ia telanjur menjadi populer karena
dikaitkan dengan setiap kegiatan yang berkisar pada suatu tujuan dan cara/jalan
pencapaiannya atau, lebih sederhana lagi, setiap usaha yang membidik sebuah
sasaran. Maka kata "strategi" menjadi sinonim dengan planning, programming,
management, rational decisions, method, cara penggunaan, dan lain-lain. Namun
pengertian-pengertian yang aneka ragam itu tidak mengkhianati hakikat awal
istilah strategi. Peperangan bukanlah suatu kerja kolektif biasa. Ia melibatkan
banyak unsur masyarakat dan berisiko besar, termasuk nyawa manusia. Maka ia
harus dipikirkan dan disiapkan masak-masak lebih dahulu. Karena itu ia
berwujud berupa keseluruhan keputusan kondisional yang
menetapkan tindakan-tindakan yang harus dijalankan guna menghadapi setiap
keadaan yang mungkin terjadi di masa depan. Artinya, ia berupa rencana "alpha"
guna menghadapi kejadian "A", rencana "beta" untuk menanggulangi peristiwa "B",
dan lain-lain. Sejalan dengan ini ada aneka strategi: strategi ekonomi,
strategi pertanian, dan lain-lain. Jadi "strategi" keseluruhan operasi
intelektual dan fisik yang diniscayakan untuk menanggapi, menyiapkan, dan
mengendalikan setiap kegiatan kolektif di tengah-tengah konflik. Mengingat
konflik yang diprakirakan terjadi itu melibatkan aneka macam kekuatan, strategi
cepat terkait dengan politik, yang secara esensial berurusan dengan kekuatan
dalam kiatnya mengendalikan pemerintahan masyarakat manusia, merespons aspirasi
fundamental dari suatu kolektivitas, yaitu sekuriti dan kemakmuran. Berhubung
konflik yang diprakirakan terjadi di muka bumi, lalu strategi dibuat "membumi",
menjadi "geostrategi". Amat wajar bila terjalin hubungan idiil
dan kerja antara geostrategi dan geopolitik. Napoleon menegaskan, "politik
dari negara-negara melekat dengan geografi mereka." Menurut Bismarck, "yang
tidak pernah berubah dalam politik negara-negara adalah geografi." Sedangkan
Spykman menyimpulkan, "para diktator berlalu, namun gunung-gunung selalu berada
di tempatnya yang sama." Maka hubungan antara geostrategi dan geopolitik
bagai lepat dengan daun. Sama-sama punya makna substansial sendiri, namun bila
digabungkan menghasilkan nilai total yang jauh lebih besar daripada jumlah
nilai individual masing-masing. Di samping itu peralihan dari politik ke
strategi merupakan peralihan dari "kata" ke "perbuatan". Politik menyatakan
tujuan-tujuan, menggambarkan lawan. Berdasarkan data itu strategi
memformulasikan sasaran, menetapkan agen- agen demi pencapaiannya dalam ruang
dan waktu. Ketahanan Nasional Pemerintah dahulu pernah memiliki
"angan-angan strategis". Ia disebut "ketahanan nasional" atau national
resilience,
bersendikan ide-ide utopis yang mengambang. Walaupun sekarang jarang sekali
dikumandangkan, ia bisa difungsikan kembali dengan syarat dibuat "membumi".
Bila demikian ia dapat dipaparkan berupa rumus algebrais yang berlaku bagi
negara mana pun, yang variabelnya dapat dikuantifikasi guna diketahui derajat
ketahanan negara yang dicerminkannya dan dengan begitu bisa dibandingkan satu
sama lain. Rumus tersebut, K=(U+N+E+M)x(t+c+s). K, adalah ketahanan nasional.
U, unsur masif, hasil gabungan (bobot) wilayah dan penduduk. N, sistem
nasional, tata kerja dan tata cara negara demi mencapai suatu tujuan, yang
mencerminkan derajat kemampuannya, kematangannya dalam berorganisasi. E,
kemampuan ekonomi. M, kemampuan militer. Selanjutnya t adalah tekad nasional,
dalam dirinya merupakan aspek mental dari pembentukan negara-bangsa. Koefisien
c mewakili kecerdasan penduduk, mencerminkan tingkat penguasaan iptek.
Sedangkan s, strategi nasional, unsur esensial dari pemikiran human,
lahir dari kesadaran untuk menghadapi bencana mental-biologis, baik yang
datang dari alam maupun yang berasal dari manusia. Jadi, demi memenangkan
konflik kepentingan dan hasrat perdamaian serta keseimbangan, di berbagai
bidang kehidupan, termasuk ide keterkaitan antara deployed military means dan
doktrin penggunaannya. Bobot faktor-faktor substantif (U,N,E,M), dapat
dinyatakan dengan angka indeks antara 0 dan 100. Angka 0 berarti sama sekali
tidak berkemampuan, angka 100 berkemampuan relatif sempurna. Untuk ketiga
koefisien perlipatgandaan, (t,c,s), angka indeks bergerak antara 0 dan 1. Angka
0 mencerminkan bangsa yang terpecah-belah, tidak mengetahui apa pun dan tanpa
strategi. Sedangkan angka 1 menggambarkan bangsa yang teguh bersatu-padu, luar
biasa cerdas dan berstrategi holistis yang up-to-date. Berarti bila setiap
faktor substantif adalah prima, masing-masing bernilai 100, derajat
ketahanannya masih bisa ditingkatkan tiga kali lipat bila aspek mental dari
pembentukan bangsa t dan kualitas manusia c serta s turut diperhitungkan, dan
diumpamakan sempurna, maka K=400x3=1200. Sebaliknya bila negara-bangsa
terus-menerus ribut dilanda konflik intern, sangat terbelakang, dan diliputi
kebingungan strategis, nilai dari (t+c+s) dapat menjadi 0. Bila demikian betapa
pun maksimumnya nilai (U+N+E+M), nilai tersebut menjadi nihil sama sekali
karena 400x0=0. Singapura Gambaran momentum dari derajat ketahanan
Singapura adalah kira-kira K=(20+90+90+40)x (0,4+0,9+0,7). Nilai dari U relatif
rendah karena kodrat alaminya. Namun hal itu sangat terangkat oleh nilai c yang
cukup tinggi berkat pendidikan yang terarah dan konsisten. Nilai c yang tinggi
ini mendongkrak pula nilai N dan E. Nilai N yang tinggi dimungkinkan pula oleh
jumlah penduduknya yang relatif sedikit hingga memudahkan penanganan
masalahnya. Sebaliknya justru nilai M dari ketahanan nasionalnya cukup rendah.
Ia tidak punya hinterland sebagai basis pengunduran diri bila
terjadi peperangan. Peralatan militernya memang relatif memadai dan modern,
tetapi manusianya tidak punya pengalaman tempur sejati, lagi pula kurang
kesempatan berlatih. Maka kalau kita menyetujui perjanjian pertahanan persis
menurut kehendaknya, kitalah yang bakal "berjasa" membesarkan kemampuan riil
negara pulau itu. Kelemahan Singapura yang lain terkait pada nilai t karena
mentalitas penduduknya yang serba pragmatis-individualistis; kenasionalannya
rapuh karena akar humannya yang tradisional secara artifisial diganti dengan
pragmatis-materialisme. Nilai s cukup tinggi karena ia dihantui aneka ancaman
imajiner. Ia merasa dirinya bagai negara Israel di Asia Tenggara. Derajat
ketahanan Indonesia jauh dari meyakinkan, mengingat
K=(40+60+50+70)x(0,8+0,6+0,7). Nilai riil U sangat jauh di bawah nilai
potensialnya. Jelas betapa suatu negeri bisa saja bernilai intrinsik tinggi,
yaitu cukup kaya, tanpa mampu menjadi kuat. Hal pahit itu tercermin pula pada
nilai rendah dari
faktor E. Kekayaan riil sesuatu negeri adalah fungsi dari produktivitasnya dan
nilai komersial produksinya berkat pelibatan iptek. Untuk Indonesia masih ada
sebab lain lagi, yaitu keengganan pemimpinnya mengakui keunggulan
entrepreneurship sekelompok warganya yang dianggap "tidak asli". Nilai U dan
E yang rendah semakin diperkuat nilai c yang juga rendah karena pelaksanaan
pendidikan yang amburadul. Kenaikan kuantitas manusianya tidak diimbangi
kenaikan kualitas. Maka yang mendorong kita waswas berkepanjangan adalah
kenyataan bahwa pemanfaatan alam kita yang tidak terkendali. Nilai N jauh di
bawah Singapura. Alih-alih menyehatkan birokrasi pemerintahan, reformasi
politik malah meratakan penyebaran korupsi dan penurunan disiplin nasional.
Kekeliruan Visi Yang juga cukup mendebarkan adalah nilai M yang kurang
mencukupi. Ini, harus diakui, akibat keliru pikir strategis dari petinggi
militer sendiri. Mereka selama ini mengabaikan kekuatan alami yang kita miliki,
yaitu lautan. Kekuatan politik suatu negara dan ketahanan nasionalnya
bergantung pada pemanfaatan sumber-sumber sendiri yang ia dapat dan bisa
gunakan serta pada produk yang ia peroleh dari situ, jadi pada nilai intrinsik
dan kekayaan yang dimilikinya. Kekeliruan visi strategis itu terlihat pada
nilai s yang tidak menjanjikan. Yang agak menghibur adalah nilai t yang cukup
lumayan, namun harus dijaga jangan sampai menurun. Ini adalah tugas parpol
terhadap kader-kadernya, jangan sampai engagement tidak dengan sendirinya
bermuara pada commitment. Filosof politik Prancis, Alexis de Tocqueville,
setelah melihat sendiri kedinamikan demokrasi Amerika, berujar "A democratic
power is never likely to perish for lack of strength or of its resources, but
it may very well fall because of the misdirection of its strength and the abuse
of its resources." Dan telaah geostrategis dan geopolitis sangat membantu
memahami kebenaran ujaran tersebut. Peningkatan derajat K kita bergantung
seluruhnya pada kita sendiri. Bukan pada Singapura.

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template Blue Surfing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP