perebutan Ambalat dan Urgensi Pengelolaan Pulau

wilayah perairan di Kalimantan Timur (Blok Ambalat) menjadi perdebatan kita dengan Malaysia. Kedua negara yakin, wilayah itu masuk wilayah yurisdiksi masing-masing negara.

Klaim ini terjadi karena kedua pihak belum duduk bersama untuk menyelesaikan aneka perbedaan di antara mereka. Yang menarik, wilayah ini berdekatan dengan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah menjadi milik Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional tanggal 17 Desember 2002.

Pasca-Sipadan dan Ligitan, paling tidak ada beberapa kasus perbatasan lain sebelum Ambalat yang mencuat di media, seperti Pulau Batek di depan Oekusi (Timor Leste) yang dicuatkan Timor Leste seakan-akan itu milik mereka saat TNI AL melakukan latihan di pulau itu.

Berikutnya masalah aksesibilitas nelayan Rote dan nelayan Indonesia lainnya di wilayah MOU Box yang telah menjadi milik Australia, tetapi diprotes masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) karena mereka merasa telah berabad-abad mengeksploitasi sumber daya perikanan di kawasan itu. Pulau Miangas di Sulawesi Utara, yang juga telah diyakini milik Indonesia, mencuat di media massa karena "bersengketa" dengan Filipina.

Kita juga mengkhawatirkan reklamasi daratan Singapura yang luas alaminya 580 kilometer (km) persegi ingin diproyeksikan menjadi 770 km persegi. Reklamasi sendiri menggunakan pasir laut yang diambil dari kawasan Kepulauan Riau. Hal ini bila tidak disikapi secara kritis bisa menimbulkan masalah. Ditambah lagi isu illegal fishing, illegal logging, penyelundupan, serta illegal immigrant yang semuanya tumbuh subur di perbatasan karena sifat keterisolasian kawasan ini.

Dari kasus-kasus itu, ada dua hal yang yang harus dituntaskan oleh Indonesia. Pertama, pengembangan wilayah perbatasan berbasis pulau kecil. Pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan, yang dihuni penduduk kita, harus diperhatikan kesejahteraannya, teristimewa pulau-pulau terluar. Sebagai contoh Pulau Wetar di Maluku Tenggara Barat di mana saat Timor Leste masih menyatu dengan Indonesia pasokan kayu untuk pembangunan di sana berasal dari pulau ini, tetapi masyarakatnya amat miskin. Bahkan, sejak merdeka baru ada satu kali kunjungan muspida Provinsi Maluku ke pulau ini pada bulan lalu. Contoh lain, Pulau Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, seluas 3,15 kilometer persegi dan dihuni sekitar 600 jiwa dan berprofesi nelayan dan petani kelapa. Pemasaran komoditas di sana bukannya ke Sulawesi Utara, tetapi ke Davao (Filipina).

Kedua, masalah kepastian garis batas (delimitasi dan demarkasi). Masalah ini membutuhkan dukungan, seperti survei dan pemetaan wilayah perbatasan, penamaan (toponim) pulau yang pada akhirnya membantu Departemen Luar Negeri (Deplu) melakukan tugasnya dalam kaitan dengan border diplomacy sampai upaya pengakuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap apa yang sudah disetujui Indonesia dengan negara- negara tetangga.

BELAJAR dari kasus-kasus perbatasan ini, sebetulnya akar permasalahannya adalah kepentingan terhadap sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, yang terbentang di wilayah itu. Karena di laut, penanganannya pun menjadi lebih sulit dan mahal ketimbang di darat. Di darat kita hanya berhubungan dengan tiga negara, yaitu Papua Niugini (PNG), Malaysia, dan Timor Leste. Sementara di laut, kita "bersentuhan" dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Australia, Timor Leste, Palau, PNG, dan Thailand.

Untuk menangani batas laut, upaya harus diarahkan pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar (sebelumnya Sipadan dan Ligitan termasuk). Mengapa? Pada ke-92 pulau ini, negara meletakkan titik dasar (TD) yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia (PP ini harus diubah karena masih ada Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau itu bukan lagi milik kita).

Hal ini berarti, pulau-pulau tersebut menjadi penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut); batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut); dan batas Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan). Jika salah satu dari pulau itu mengalami nasib seperti Sipadan dan Ligitan, otomatis kita akan kehilangan sebagian dari wilayah kita meski kecil dibanding total luas wilayah. Pulau-pulau ini amat strategis bagi bangsa dan rawan konflik karena mereka sebagai penentu volume wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta wilayah yang potensial diduduki (dispute) karena bersinggungan dengan wilayah internasional.

Pulau-pulau ini tersebar di 18 provinsi dan 34 kabupaten, meliputi Kepulauan Riau (20 pulau), Maluku (18 pulau), Sulawesi Utara (11 pulau), Papua (9 pulau), Nanggroe Aceh Darussalam (6 pulau), NTT (5 pulau), Sumatera Utara dan Kalimantan Timur (4 pulau), Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur (3 pulau), Bengkulu dan Sumatera Barat (2 pulau), Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Lampung (masing-masing satu pulau). Luas pulau-pulau ini berkisar 0,02-200 kilometer bujur sangkar dan hanya 50 persennya yang dihuni.

Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk menangani isu-isu perbatasan di laut ini dengan mengusulkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengelolaan ke-92 pulau kecil terluar itu. Rancangan Keppres ini diinisiasi Departemen Kelautan dan Perikanan sejak Pemerintahan Megawati, saat kasus Sipadan dan Ligitan menghangat, tetapi sampai pemerintahan sekarang pun belum diterbitkan. Keppres ini merupakan landasan sekaligus aksi nasional pengembangan pulau kecil terluar.

PEMERINTAH pusat seharusnya memiliki tanggung jawab dan inisiatif lebih tinggi terhadap penanganan isu perbatasan internasional ini ketimbang daerah. Daerah tidak melihat isu ini sebagai prioritas mereka. Dana APBD cenderung difokuskan pada sektor-sektor vital dan amat dibutuhkan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi, sebab perhatian dan orientasi pemerintah daerah dalam merencanakan pembangunan cenderung menekankan aspek ekonomis dibanding politis, terutama politik luar negeri.

Harus disadari, masalah pulau kecil terluar memiliki spektrum luas. Ia tak sebatas aspek ekonomis, tetapi terpenting aspek politis yang terkait batas wilayah dan keutuhan NKRI. Artinya, penanganannya harus lintas departemen. Hal inilah yang menjadi urgensi perlunya kehadiran keppres itu. Tujuannya untuk mengikat komitmen pemerintah dalam membangun kawasan melalui perencanaan, pengendalian, dan pemanfaatan secara terpadu. Keppres belum diterbitkan sementara kasus Ambalat sudah muncul. Rasanya kelemahan kita diketahui lawan sehingga upaya coba-coba dari tetangga terus dilakukan. Marilah melakukan gerakan nasional untuk menghentikan kecenderungan ini.

0 komentar:

Posting Komentar

  © Blogger template Blue Surfing by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP